Selasa, 31 Mei 2011
TRANSFER PRICING DALAM PRAKTEK PERPAJAKAN INTERNASIONAL
0 komentar Diposting oleh jelita lusty deys di 06.541. Definisi Transfer Pricing
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison). (Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974, dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985 perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer pricing tersebut adalah:
1) Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu ratc profit center
2) Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.
3) Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara.
4) Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam group perusahaan.
Harga transfer sering memicu masalah terutama pada penentuan harga sepakatannya, karena melibatkan dua unit, yaitu unit pembeli dan unit penjual, dan harga transfer juga mempengaruhi pengukuran laba unit, harga transfer yang tinggi akan merugikan unit pembeli sedangkan harga transfer yang terlalu rendah akan merugikan unit penjual, maka penentuan harga transfer menjadi hal yang sangat penting.
2. Tujuan Transfer Pricing
Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).
3. Tipe dan Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah:
1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.
4. Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:
1) Memaksimalkan penghasilan global
2) Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3) Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
4) Penghidaran pengendalian devisa
5) Mengontrol kredibilitas asosiasi
6) Meningkatkan bagian laba joint ventura
7) Reduksi resiko moniter
8) Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transferpricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang.
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan persentase dilakukannya audit compliance pada perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.- Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and Mowen, 1996:543)
Aspek Internasional Harga Transfer
Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati (harga pasar).
Tujuan harga transfer berubah apabila melibatkan multinational corporation (MNC) serta barang yang ditransfer melalui batas-batas negara. Tujuan penentuan harga transfer internasional terfokus pada meminimalkan pajak, bea, dan risiko pertukaran asing, bersama dengan meningkatkan suatu kompetitif perusahaan dan memperbaiki hubungannya dengan pemerintah asing. Walaupun tujuan domestik seperti motivasi manajerial dan otonomi divisi selalu penting, namun seringkali menjadi sekunder ketika transfer internasional terlibat. Perusahaan akan lebih fokus pada pengurangan pajak total atau memperkuat anak perusahaan asing. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.
Sebagai contoh, pembebanan harga transfer yang rendah untuk anak perusahaan asing mungkin akan mengurangi pembayaran bea cukai sebagai akibat dari batas-batas internasional, atau mungkin membantu anak perusahaan untuk bersaing dalam pasar asing dengan mempertahankan biaya anak perusahaan yang rendah. Di sisi lain, mebebankan suatu harga transfer yang tinggi mungkin membantu MNC mengurangi laba pada negeri yang telah memperketat kendali pengiriman uang asing, atau mungkin memberikan kemudahan bagi MNC memindahkan pendapatan dari suatu negara yang memiliki tingkat pajak pendapatan yang tinggi ke suatu negara dengan tingkat pajak rendah (tax haven country).
Penelitian akhir-akhir ini telah menemukan bahwa lebih dari 80% perusahaan-perusahaan multinsional (MNC) melihat transfer pricing sebagai suatu isu pajak internasional utama, dan lebih dari setengah dari perusahaan ini mengatakan bahwa isu ini adalah isu yang paling penting. Sebagian besar negara sekarang menerima perjanjian modal Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), yang menyatakan bahwa harga-harga transfer sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan standar arm’s-length, artinya pada suatu harga yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang independen. Sementara perjanjian model tersebut diterima secara luas, terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara negara-negara menerapkannya. Meskipun demikian, terdapat dukungan yang kuat di seluruh dunia terhadap suatu pendekatan untuk membatasi usaha-usaha oleh MNC untuk mengurangi kewajiban pajak dengan menetapkan harga-harga transfer yang berbeda dengan arm’s-length standard tersebut.
Label: akuntansi internasional
Rabu, 11 Mei 2011
Sejauh ini, Bank Indonesia hanya mewajibkan Bank Umum untuk menerapkan GCG dalam operasional usahanya. LKM yang cakupannya sangat luas meliputi Bank, Koperasi dan organisasi non bank, masih belum tersentuh aturan GCG. Meskipun skala yang dijalankan adalah mikro namun sebagai lembaga keuangan, aktivitas usaha LKM tetap membawa konsekuensi risiko terkait pertanggungjawaban dana masyarakat (publik).
Peraturan Bank Indonesia (PBI) no.8/4/PBI/2006 mewajibkan Bank Umum melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
PBI no. 8 diatas secara khusus mengatur penerapan GCG untuk Bank umum, namun tidak wajib bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang melayani khususnya pengusaha mikro dan kecil. Kategori Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia bentuknya beragam, bukan hanya BPR melainkan juga termasuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (lebih dikenal dengan nama Baitulmal Wattamwil), BRI unit desa dan Lembaga Kredit Desa (BKD).
Sebagai suatu konsep yang biasanya diterapkan bagi perusahaan-perusahaan besar, BUMN atau Bank umum, pertanyaan mendasar adalah apakah GCG perlu juga diterapkan di LKM? Apakah GCG di LKM cukup sebatas wacana saja mengingat ada banyak faktor yang masih harus dikaji dan disesuaikan dengan kondisi LKM.
Pengertian GCG
Definisi Corporate governance (CG) dari Cadbury Committe of the United Kingdom (1999) yakni: ”seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan"
Definisi diatas menjelaskan bahwa CG adalah sistem yang bisa digunakan untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan. CG timbul dari kebutuhan usaha akan tatakelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), yang menegakkan prinsip-prinsip transparan, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan berkeadilan
Kebutuhan GCG di LKM dilihat dari Agency Theory
Agency theory menjelaskan hubungan sebab akibat antara principal dengan agent. Jika dibawakan dalam konteks LKM, Agency theory menjelaskan antara lain permasalahan yang muncul antara masyarakat kecil sebagai pemilik LKM dengan manajemen atau pengelola BPR sebagai agent. Bagi sebagian besar LKM yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat, pemegang sahamnya relatif banyak dan beragam dengan berbagai kepentingan.
Pada LKM dengan badan hukum Koperasi, kepemilikannya lebih tersebar lagi dimana setiap anggota memiliki satu hak suara. Meskipun pada prakteknya hak suara ini tidak identik dengan pengendalian dalam arti yang sesungguhnya namun secara hukum, LKM jenis ini pemiliknya adalah orang banyak.
Selain tersebarnya kepemilikan saham, industri LKM juga dihadapkan pada minimnya pengetahuan para pemegang sahamnya atas hak dan kewajibannya. Ketidak pahaman ini membawa konsekuensi tidak berjalannya mekanisme pertanggungjawaban dan pengawasan LKM .
Dalam kondisi seperti ini penegakan prinsip-prinsip GCG akan menjadi penting terutama dari sisi transparansi dan keadilan (fairness). Pihak-pihak yang memiliki pengaruh didalam suatu LKM harus diawasi oleh pihak independent dan capable.
LKM vs Masyarakat Penabung/ Deposan/ Kreditur/ Investor
LKM sebagai lembaga keuangan memiliki wewenang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito. Sebagai perusahaan, LKM juga memiliki wewenang untuk mendapatkan dana dari kreditur ataupun investor. Perlindungan hukum kepada pihak pemilik dana ini tentunya harus memadai untuk mengantisipasi kemungkinan penyalahgunanaan wewenang oleh pihak tertentu.
Sebagai Lembaga Mikro dengan segmentasi pasar masyarakat kecil dan mikro serta sebagian masyarakat menengah, potensi sumber dana yang bisa digarap cukup besar. Disisi lain aturan yang membatasi jumlah dana yang boleh dihimpun LKM relatif lebih longgar terutama dari sisi pengawasan. Dibanding Bank Umum dimana posisi likuiditasnya bisa terpantau oleh Bank Sentral baik secara makro ataupun mikro, sebagian besar LKM bisa dibilang luput dari pengawasan terinci menyangkut tanggung jawab terhadap dana masyarakat ini.
Dengan kondisi ini, besar potensi terjadinya ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara masyarakat penabung, kreditur, investor dengan pihak LKM sebagai pengelola dana. Perlindungan terhadap dana masyarakat serta mekanisme tanggung jawab pihak LKM kepada masyarakat belum memadai. Pada tahap ini, penerapan prinsip-prinsip GCG secara benar, sedikit banyak akan membantu terbentukanya sistem yang lebih berkeadilan, bertanggung jawab, transparan, dan berakuntabilitas.
Cost & Benefit penerapan GCG di LKM
Isu Cost & Benefit menjadi hal yang mendasar jika GCG diterapkan di LKM. Sebagai suatu sistem, implementasi GCG akan membutuhkan biaya dan alokasi sumber daya perusahaan. Penerapan GCG juga harus ditunjang dengan organ-organ GCG yang memadai untuk menjamin terlaksananya GCG sebagaimana yang diharapkan. Kesemua hal ini secara pasti akan meningkatkan pengeluaran perusahaan sementara dilain pihak dampak positifnya belum akan terlihat dalam waktu yang singkat.
Penerapan GCG didalam perusahaan juga tidak akan serta merta meningkatkan nilai perusahaan. Diperlukan suatu proses dan pembelajaran bagi perusahaan terutama LKM untuk bisa mewujudkan penerapan GCG yang efisien dan efektif.
Sementara itu, kebutuhan mendasar LKM hingga saat ini, belum sampai pada tahap advance, melainkan masih terpaku pada permasalah mendasar seputar profitabilitas dan kesinambungan usaha. Tingkat keuntungan usaha lembaga keuangan sangat tergantung kepada volume usahanya, sementara LKM masih mengalami kendala seputar minimnya modal untuk tujuan pengembangan usahanya.
Namun demikian hal ini belum berarti bahwa GCG tidak mungkin diterapkan di LKM. Prinsip-prinsip GCG bisa diterapkan dengan perangkat yang sederhana misalkan adanya aturan dan komitmen memenuhinya. GCG jika diterapkan di LKM, perlu konsep dan model yang sederhana namun efektif guna menjamin prinsip GCG dijalankan namun dengan beban yang ringan.
Implikasi Positif & Negatif Penerapan GCG di LKM
Penerapan GCG di LKM secara umum akan membawa implikasi positif yakni antara lain:
•Mendorong terciptanya industri LKM yang sehat dan tangguh.
•Meningkatnya kontribusi LKM terhadap pertumbuhan perekonomian, industri LKM yang sehat akan menumbuh kembangkan sektor usaha kecil dan mikro dan berdampak pada pertumbuhan makro ekonomi
•Terciptanya mekanisme check and balances yang memadai di masing-masing LKM
Implikasi negatif yang timbul jika GCG harus diterapkan di LKM, secara umum antara lain Secara significant akan mengurangi jumlah LKM karena tidak mampu memenuhi regulasi yang ada. Dilain pihak keberadaan LKM sangat dibutuhkan terutama dalam menjangkau pedesaan dan pedalaman dimana bisnis perbankan tidak masuk karena skala ekonomisnya tidak terpenuhi
Kendala-kendala Penerapan GCG di LKM
Beberapa hal yang bisa menjadi penghambat penerapan GCG di LKM, secara umum adalah sebagai berikut:
•Belum adanya undang-undang LKM akan menghambat perumusan bentuk GCG yang tepat bagi LKM. Keanekaragaman jenis LKM dan bentuk hukumnya, jika tidak dirumuskan akan mempersulit penetapan system GCG yang bisa diterapkan pada industri LKM.
•Belum adanya Bank Sentral untuk LKM di Indonesia. Fungsi Bank sentral ini sebagai regulator dan pengawas pelaksanaan GCG di LKM.
•Belum adanya rumusan yang tepat terkait bentuk GCG di LKM dikaitkan cost dan benefit .Diperlukan konsep dan model yang memadai agar prinsip GCG bisa dijalankan LKM secara efisien dan efektif
•Belum mendukungnya infrastruktur dan sumber daya manusia yang ada
•Perumusan, sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan GCG di LKM membutuhkan biaya yang cukup besar
Kesimpulan
Sebagai suatu sistem, GCG memang merupakan suatu perangkat yang ideal karena didalamnya terkandung tata kelola perusahaan yang baik termasuk kode etik yang dijalankan perusahaan dalam berbisnis. Lembaga Keuangan Mikro yang mengelola dana masyarakat, mau tidak mau harus memiliki standar dasar tata kelola perusahaan yang menjamin terwujudnya nilai-nilai dasar bisnis yang sehat seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan keadilan.
Good Corporate Governance bisa jadi merupakan suatu sistem yang dapat diterapkan di LKM. Nilai-nilai GCG yang harus ditegakkan LKM akan mendorong peningkatan kinerja LKM yang pada akhirnya bermuara terciptanya mekanisme pertanggungjawaban pengelola LKM kepada stake holder
Bukan tidak mungkin penerapan GCG di lembaga keuangan mikro akan mendorong lingkungan usaha diseputar LKM akan mengarah keperbaikan pengelolaan perusahaan dan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional.
*) Penulis adalah Business Associate Berkah Madani School of Microfinance
Perencanaan dan kendali manajemen
Tujuan utama manajemen risiko keuangan adalah untuk meminimalkan potensi kerugian yang timbul dari perubahan tak terduga dalam harga mata uang, kredit, komoditas, dan ekuitas. Resiko volatilitas harga yang dihadapi ini disebut dengan resiko pasar. Risiko pasar terdapat dalam berbagai bentuk. Meskipun volatilitas harga atau tingkat, akuntan manajemen perlu mempertimbangkan resiko lainnya:
1.risiko likuiditas,
timbul karena tidak semua produk manajemen dapat diperdagangkan secara bebas
2.diskontinuitas pasar,
mengacu pada risiko bahwa pasar tidak selalu menimbulkan perubahan harga secara bertahap
3.risiko kredit,
merupakan kemungkinan bahwa pihak lawan dalam kontrak manajemen risiko tidak dapat memenuhi kewajibannya
4.risiko regulasi,
adalah risiko yang timbul karena pihak otoritas public melarang penggunaan suatu produk keuangan untuk tujuan tertentu
5.risiko pajak,
merupakan risiko bahwa transaksi lindung nilai tertentu tidak dapat memperoleh perlakuan pajak yang diinginkan
6.risiko akuntansi,
adalah peluang bahwa suatu transaksi lindung nilai tidak dapat dicatat selain bagian dari transaksi yang hendak dilindung nilai
Akuntansi manajemen memainkan peran yang penting dalam proses risiko manajemen. Mereka membantu dalam mengidentifikasikan eksposur pasar, mengkuantifikasi keseimbangan yang terkait dengan strategi respons risiko alternative, mengukur potensi yang dihadapi perusahaan terhadap risiko tertentu, mencatat produk lindung nilai tertentu dan mengevaluasi program lindung nilai.
Kerangka dasar yang bermanfaat untuk mengidentifikasi berbagai jenis risiko market berpotensi dapat disebut sebagai pemetaan risiko. Kerangka ini diawali dengan pengamatan atas hubungan berbagai risiko pasar terhadap pemicu nilai suatu perusahaan dan pesaingnya. Pemicu nilai mengacu pada kondisi keuangan dan pos-pos kinerja operasi keuangan utama yang mempengaruhi nilai suatu perusahaan.
Risiko pasar mencakup risiko kurs valuta asing dan suku bunga, serta risiko harga komoditas dan ekuitas. Mata uang Negara sumber pembelian mengalami penurunan nilai relative terhadap mata uang Negara domnestik, maka perubahan ini dapat menyebabkan pesaing domestic mampu menjual dengan harga yang lebih rendah, ini disebut sebagai risiko kompetitif mata uang yang dihadapi. Akuntan manajemen harus memasukkan suatu fungsi demikian probabilitas yang terkait dengan serangkaian hasil keluaran masing-masing pemicu nilai. Peran lain yang dimainkan oleh para akuntan dalam proses manajemen resiko meliputi proses kuantifikasi penyeimbangan yang berkaitan dengan alternative strategi respon risiko. Risiko kurs valuta asing adalah salah satu bentuk risiko yang paling umum dan akan dihadapi oleh perusahaan multinasional. Di dalam dunia kurs mengambang, manajemen risiko mencakup: (1) antisipasi pergerakan kurs, (2) pengukuran risiko kurs valuta asing yang dihadapi perusahaan, (3) perancangan strategi perlindungan yang memadai, dan (4) pembuatan pengendalian manajemen risiko internal
Potensi terhadap risiko valas timbul apabila perubahan kurs valas juga mengubah nilai aktiva bersih, laba, dan arus kas suatu perusahaan. Pengukuran akuntansi tradisional terhadap potensi risiko valas ini berpusat pada dua jenis potensi risiko: translasi dan transaksi.
Potensi risiko translasi mengukur pengaruh perubahan kurs valas terhadap nilai ekuivalen mata uang domestik atas aktiva dan kewajiban dalam mata uang asing yang dimiliki oleh perusahaan. Karena jumlah dalam mata uang asing umumnya ditranslasikan ke dalam nilai ekuivalen mata uang domestik untuk tujuan pengawasan manajemen atau pelaporan keuangan eksternal, pengaruh translasi itu menimbulkan dampak langsung terhadap laba yang diinginkan. Kelebihan antara aktiva terpapar resiko dengan kewajiban terpapar (yaitu pos-pos dalam mata uang asing yang ditranslasikan berdasarkan kurs kini) menyebabkan timbulnya posisi aktiva terpapar bersih. Posisi ini sering disebut potensi risiko positif. Devaluasi mata uang asing relatif terhadap mata uang pelaporan menimbulkan kerugian translasi. Revaluasi mata uang asing menghasilkan keuntungan translasi. Sebaliknya, jika perusahaan memiliki posisi kewajiban terpapar bersih atau potensi risiko negatif apabila kewajiban terpapar melebihi aktiva terpapar. Dalam kasus ini, devaluasi mata uang asing menyebabkan timbulnya keuntungan translasi. Revalusi mata uang asing menyebabkan kerugian translasi. ,/p>
Potensi risiko transaksi, berkaitan dengan keuntungan dan kerugian nilai tukar valuta asing yang timbul dari penyelesaian transaksi yang berdenominasi dalam mata uang asing. Keuntungan dan kerugian transaksi memiliki dampak langsung terhadap arus kas. Laporan potensi risiko transaksi berisi pos-pos yang umumnya tidak muncul dalam laporan keuangan konvensional, tetapi menimbulkan keuntungan dan kerugian transaksi seperti kontrak forward mata uang asing, komitmen pembelian dan penjualan masa depan dan sewa guna usaha jangka panjang.
Untuk meminimalkan atau menghilangkan potensi risiko tersebut, dibutuhkan strategi yang mencakup lindung nilai neraca, operasional, dan kontraktual. Lindung nilai neraca dapat mengurangi potensi risiko yang dihadapi perusahaan dengan menyesuaikan tingkatan dan nilai denominasi moneter aktiva dan kewajiban perusahaan yang terpapar. Lindung nilai operasional berfokus pada variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan dan beban dalam mata uang asing. Lindung nilai structural mencakup relokasi tempat manufaktur untuk mengurangi potensi risiko yang dihadapi perusahaan atau mengubah Negara yang menjadi sumber bahan mentah dan komponen manufaktur. Lindung nilai kontraktual dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para manajer dalam mengelola potensi risiko valas yang dihadapi.
Senin, 11 April 2011
COBIT
(Control Objectives for Information and Related Technology)
Pengertian
Cobit Adalah satu metodologi yang memberikan kerangka dasar dalam menciptakan sebuah Teknologi Informasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi dengan tetap memperhatikan faktor – faktor lain yang berpengaruh. Cobit Adalah suatu panduan standar praktik manajemen teknologi informasi.Standar COBIT dikeluarkan oleh IT Governance Institute yang merupakan bagian dari ISACA (Information Systems Audit and Control Association).
Sejarah Cobit
Cobit diciptakan untuk menyediakan model yang detail dan spesifik untuk IT governance. Berisi standar dan regulasi ISO, EDIFACT, dan lain-lain.Codes of Conduct issued by Council of Europe.Stándar Profesional Auditing, yaitu : COSO, IFAC, IIA, ISACA, AICPA standards, dll. Pertama kali dipubliksikam pada bulan April 1996, edisi kedua terbit pada tahun 1998,edisi ketiga pada July 2000, edisi keempat pada bulan Desember 2005
Dasar-dasar Cobit
Digunakan untuk membantu untuk memahami dan mengatur resiko dengan bantuan antara tekhnologi dan informasi,memungkinkan pengembangan dari kebijaksanaan yang bersih dan praktek yang baik untuk kontrol TI,dan Cobit dapat digunakan oleh: Ahli Tekhnologi informasi dan penggunanya, untuk mendukung proses bisnis bagi para pemilik perusahaan dan Auditors
Pentingnya Cobit
Pada dasarnya COBIT dikembangkan untuk membantu memenuhi berbagai kebutuhan manajemen terhadap informasi dengan menjembatani kesenjangan antara resiko bisnis, kontrol dan masalah teknik. COBIT dapat menyediakan seperangkat praktek yang dapat diterima pada umumnya karena dapat membantu para direktur, eksekutif dan manager meningkatkan nilai IT dan mengecilkan resiko.Untuk menpersiapkan proses manajemen dan bisnis dengan model TI governance yang membantu dalam memahami dan memgelola resiko yang berhubungan dengan TI
Cakupan Bidang/Domain Utama CObIT
Perencanaan dan organisasi (plan and organise)
Pengadaan dan implementasi (acquire and implement)
Pengantaran dan dukungan (deliver and support)
Pengawasan dan evaluasi (monitor and evaluate)
Domain 1 : Planning and Organisation
Domain ini mencakup strategi dan taktik yang menyangkut identifikasi tentang bagaimana TI dapat memberikan kontribusi terbaik dalam pencapaian tujuan bisnis organisasi sehingga terbentuk sebuah organisasi yang baik dengan infrastruktur teknologi yang baik pula.
Langkah-langkah:
Menetapkan rencana stratejik TI
Menetapkan hubungan dan organisasi TI
Mengkomunikasikan arah dan tujuan manajemen
Mengelola sumberdaya manusia
Memastikan pemenuhan keperluan pihak eksternal
Menaksir risiko
Domain 2 : Acquisition and Implementation
Untuk mewujudkan strategi TI, solusi TI perlu diidentifikasi, dibangun atau diperoleh dan kemudian diimplementasikan dan diintegrasikan dalam proses bisnis.
Langkah-langkah :
Mengidentifikasi solusi terotomatisasi
Mendapatkan dan memelihara infrastruktur teknologi
Mengembangkan dan memelihara prosedur
Memasang dan mengakui sistem
Mengelola perubahan
Domain 3 : Delivery and Support
Domain ini berhubungan dengan penyampaian layanan yang diinginkan, yang terdiri dari operasi pada security dan aspek kesinambungan bisnis sampai dengan pengadaan training.
Langkah-langkah :
Menetapkan dan mengelola tingkat pelayanan
Mengelola pelayanan kepada pihak lain
Memastikan pelayanan yang kontinyu
Memastikan keamanan sistem
Mengelola konfigurasi/susunan
Mengelola data
Mengelola fasilitas
Domain 4 : Monitoring
Semua proses TI perlu dinilai secara teratur dan berkala bagaimana kualitas dan kesesuaiannya dengan kebutuhan kontrol.
Langkah-langkah:
Memonitor proses – menaksir kecukupan pengendalian internal
Mendapatkan kepastian yang independen
Kesimpulan
COBIT adalah fondasi yang berguna untuk membangun suatu lingkungan pengendalian yang berbasis TI
Cakupannya luas, cukup fleksibel bila berintegrasi dengan lingkungan pengendalian bisnis, databasenya dapat dibagi, dan prosedurnya manual
Sangat mungkin untuk membangun complete toolkit untuk mengimplementasikan lingkungan pengendalian berbasis TI
Label: artikel
COBIT
(Control Objectives for Information and Related Technology)
Pengertian
Cobit Adalah satu metodologi yang memberikan kerangka dasar dalam menciptakan sebuah Teknologi Informasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi dengan tetap memperhatikan faktor – faktor lain yang berpengaruh. Cobit Adalah suatu panduan standar praktik manajemen teknologi informasi.Standar COBIT dikeluarkan oleh IT Governance Institute yang merupakan bagian dari ISACA (Information Systems Audit and Control Association).
Sejarah Cobit
Cobit diciptakan untuk menyediakan model yang detail dan spesifik untuk IT governance. Berisi standar dan regulasi ISO, EDIFACT, dan lain-lain.Codes of Conduct issued by Council of Europe.Stándar Profesional Auditing, yaitu : COSO, IFAC, IIA, ISACA, AICPA standards, dll. Pertama kali dipubliksikam pada bulan April 1996, edisi kedua terbit pada tahun 1998,edisi ketiga pada July 2000, edisi keempat pada bulan Desember 2005
Dasar-dasar Cobit
Digunakan untuk membantu untuk memahami dan mengatur resiko dengan bantuan antara tekhnologi dan informasi,memungkinkan pengembangan dari kebijaksanaan yang bersih dan praktek yang baik untuk kontrol TI,dan Cobit dapat digunakan oleh: Ahli Tekhnologi informasi dan penggunanya, untuk mendukung proses bisnis bagi para pemilik perusahaan dan Auditors
Pentingnya Cobit
Pada dasarnya COBIT dikembangkan untuk membantu memenuhi berbagai kebutuhan manajemen terhadap informasi dengan menjembatani kesenjangan antara resiko bisnis, kontrol dan masalah teknik. COBIT dapat menyediakan seperangkat praktek yang dapat diterima pada umumnya karena dapat membantu para direktur, eksekutif dan manager meningkatkan nilai IT dan mengecilkan resiko.Untuk menpersiapkan proses manajemen dan bisnis dengan model TI governance yang membantu dalam memahami dan memgelola resiko yang berhubungan dengan TI
Cakupan Bidang/Domain Utama CObIT
Perencanaan dan organisasi (plan and organise)
Pengadaan dan implementasi (acquire and implement)
Pengantaran dan dukungan (deliver and support)
Pengawasan dan evaluasi (monitor and evaluate)
Domain 1 : Planning and Organisation
Domain ini mencakup strategi dan taktik yang menyangkut identifikasi tentang bagaimana TI dapat memberikan kontribusi terbaik dalam pencapaian tujuan bisnis organisasi sehingga terbentuk sebuah organisasi yang baik dengan infrastruktur teknologi yang baik pula.
Langkah-langkah:
Menetapkan rencana stratejik TI
Menetapkan hubungan dan organisasi TI
Mengkomunikasikan arah dan tujuan manajemen
Mengelola sumberdaya manusia
Memastikan pemenuhan keperluan pihak eksternal
Menaksir risiko
Domain 2 : Acquisition and Implementation
Untuk mewujudkan strategi TI, solusi TI perlu diidentifikasi, dibangun atau diperoleh dan kemudian diimplementasikan dan diintegrasikan dalam proses bisnis.
Langkah-langkah :
Mengidentifikasi solusi terotomatisasi
Mendapatkan dan memelihara infrastruktur teknologi
Mengembangkan dan memelihara prosedur
Memasang dan mengakui sistem
Mengelola perubahan
Domain 3 : Delivery and Support
Domain ini berhubungan dengan penyampaian layanan yang diinginkan, yang terdiri dari operasi pada security dan aspek kesinambungan bisnis sampai dengan pengadaan training.
Langkah-langkah :
Menetapkan dan mengelola tingkat pelayanan
Mengelola pelayanan kepada pihak lain
Memastikan pelayanan yang kontinyu
Memastikan keamanan sistem
Mengelola konfigurasi/susunan
Mengelola data
Mengelola fasilitas
Domain 4 : Monitoring
Semua proses TI perlu dinilai secara teratur dan berkala bagaimana kualitas dan kesesuaiannya dengan kebutuhan kontrol.
Langkah-langkah:
Memonitor proses – menaksir kecukupan pengendalian internal
Mendapatkan kepastian yang independen
Kesimpulan
COBIT adalah fondasi yang berguna untuk membangun suatu lingkungan pengendalian yang berbasis TI
Cakupannya luas, cukup fleksibel bila berintegrasi dengan lingkungan pengendalian bisnis, databasenya dapat dibagi, dan prosedurnya manual
Sangat mungkin untuk membangun complete toolkit untuk mengimplementasikan lingkungan pengendalian berbasis TI
Label: artikel
COBIT
(Control Objectives for Information and Related Technology)
Pengertian
Cobit Adalah satu metodologi yang memberikan kerangka dasar dalam menciptakan sebuah Teknologi Informasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi dengan tetap memperhatikan faktor – faktor lain yang berpengaruh. Cobit Adalah suatu panduan standar praktik manajemen teknologi informasi.Standar COBIT dikeluarkan oleh IT Governance Institute yang merupakan bagian dari ISACA (Information Systems Audit and Control Association).
Sejarah Cobit
Cobit diciptakan untuk menyediakan model yang detail dan spesifik untuk IT governance. Berisi standar dan regulasi ISO, EDIFACT, dan lain-lain.Codes of Conduct issued by Council of Europe.Stándar Profesional Auditing, yaitu : COSO, IFAC, IIA, ISACA, AICPA standards, dll. Pertama kali dipubliksikam pada bulan April 1996, edisi kedua terbit pada tahun 1998,edisi ketiga pada July 2000, edisi keempat pada bulan Desember 2005
Dasar-dasar Cobit
Digunakan untuk membantu untuk memahami dan mengatur resiko dengan bantuan antara tekhnologi dan informasi,memungkinkan pengembangan dari kebijaksanaan yang bersih dan praktek yang baik untuk kontrol TI,dan Cobit dapat digunakan oleh: Ahli Tekhnologi informasi dan penggunanya, untuk mendukung proses bisnis bagi para pemilik perusahaan dan Auditors
Pentingnya Cobit
Pada dasarnya COBIT dikembangkan untuk membantu memenuhi berbagai kebutuhan manajemen terhadap informasi dengan menjembatani kesenjangan antara resiko bisnis, kontrol dan masalah teknik. COBIT dapat menyediakan seperangkat praktek yang dapat diterima pada umumnya karena dapat membantu para direktur, eksekutif dan manager meningkatkan nilai IT dan mengecilkan resiko.Untuk menpersiapkan proses manajemen dan bisnis dengan model TI governance yang membantu dalam memahami dan memgelola resiko yang berhubungan dengan TI
Cakupan Bidang/Domain Utama CObIT
Perencanaan dan organisasi (plan and organise)
Pengadaan dan implementasi (acquire and implement)
Pengantaran dan dukungan (deliver and support)
Pengawasan dan evaluasi (monitor and evaluate)
Domain 1 : Planning and Organisation
Domain ini mencakup strategi dan taktik yang menyangkut identifikasi tentang bagaimana TI dapat memberikan kontribusi terbaik dalam pencapaian tujuan bisnis organisasi sehingga terbentuk sebuah organisasi yang baik dengan infrastruktur teknologi yang baik pula.
Langkah-langkah:
Menetapkan rencana stratejik TI
Menetapkan hubungan dan organisasi TI
Mengkomunikasikan arah dan tujuan manajemen
Mengelola sumberdaya manusia
Memastikan pemenuhan keperluan pihak eksternal
Menaksir risiko
Domain 2 : Acquisition and Implementation
Untuk mewujudkan strategi TI, solusi TI perlu diidentifikasi, dibangun atau diperoleh dan kemudian diimplementasikan dan diintegrasikan dalam proses bisnis.
Langkah-langkah :
Mengidentifikasi solusi terotomatisasi
Mendapatkan dan memelihara infrastruktur teknologi
Mengembangkan dan memelihara prosedur
Memasang dan mengakui sistem
Mengelola perubahan
Domain 3 : Delivery and Support
Domain ini berhubungan dengan penyampaian layanan yang diinginkan, yang terdiri dari operasi pada security dan aspek kesinambungan bisnis sampai dengan pengadaan training.
Langkah-langkah :
Menetapkan dan mengelola tingkat pelayanan
Mengelola pelayanan kepada pihak lain
Memastikan pelayanan yang kontinyu
Memastikan keamanan sistem
Mengelola konfigurasi/susunan
Mengelola data
Mengelola fasilitas
Domain 4 : Monitoring
Semua proses TI perlu dinilai secara teratur dan berkala bagaimana kualitas dan kesesuaiannya dengan kebutuhan kontrol.
Langkah-langkah:
Memonitor proses – menaksir kecukupan pengendalian internal
Mendapatkan kepastian yang independen
Kesimpulan
COBIT adalah fondasi yang berguna untuk membangun suatu lingkungan pengendalian yang berbasis TI
Cakupannya luas, cukup fleksibel bila berintegrasi dengan lingkungan pengendalian bisnis, databasenya dapat dibagi, dan prosedurnya manual
Sangat mungkin untuk membangun complete toolkit untuk mengimplementasikan lingkungan pengendalian berbasis TI
Label: artikel
kecurangan auditor
Contoh Kasus Kecurangan Auditor
PENELITIAN COSO : KASUS- KASUS KECURANGAN DEKADE 1998-2007
Merujuk pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh the Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO), kecurangan (fraud) dalam pelaporan keuangan oleh perusahaan-perusahaan publik di Amerika Serikat memberikan konsekuensi negatif yang signifikan terhadap para investor dan eksekutif.
Penelitian COSO tersebut, dengan menelaah tuduhan kecurangan laporan keuangan yang diselidiki oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dalam kurun waktu sepuluh tahun antara tahun 1998 – 2007, menemukan fakta bahwa berita dugaan kecurangan telah mengakibatkan penurunan abnormal harga saham rata-rata 16,7% dalam dua hari setelah diumumkan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kecurangan seringkali mengalami kebangkrutan, delisting dari bursa efek, atau harus menjual aset, dan sembilan dari sepuluh kasus-kasus SEC tersebut menyebutkan CEO dan/atau CFO perusahaan yang bersangkutan diduga terlibat dalam kecurangan.
Chairman COSO, David Landsittel, mengatakan bahwa analisis mendalam dalam penelitian tersebut terkait tentang sifat, jangkauan, dan karakteristik dari kecurangan pelaporan keuangan memberikan pemahaman yang sangat membantu tentang isu-isu baru dan berkelanjutan yang perlu segera ditangani. ”Semua pihak yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan harus terus berfokus pada cara-cara untuk mencegah, menghalangi, dan mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan,” kata Landsittel. ”COSO berencana untuk mensponsori penelitian lanjutan mengenai kecurangan pelaporan keuangan, serta pengembangan lebih lanjut pedoman pengendalian internal, untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan.”
Penelitian COSO di atas menelaah hampir 350 kasus dugaan kecurangan pelaporan keuangan yang diselidiki oleh SEC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
· Kecurangan keuangan memengaruhi perusahaan dari semua ukuran, dengan median perusahaan memiliki aktiva dan pendapatan hanya di bawah $100juta.
· Median kecurangan adalah $12,1 juta . Lebih dari 30 kasus dengan masing-masing kasus melibatkan jumlah lebih dari $500 juta.
· SEC menyebutkan CEO dan/atau CFO terindikasi terlibat pada 89% dari kasus kecurangan. Dalam waktu dua tahun penyelesaian penyelidikan SEC, sekitar 20% dari para CEO / CFO berlanjut pada dakwaan serta lebih dari 60% di antaranya divonis bersalah.
· Kecurangan mengenai pendapatan tercatat lebih 60% dari kasus.
· Banyak karakteristik yang biasanya menjadi pengamatan umum dewan direktur dan komite audit, seperti: ukuran, frekuensi rapat, komposisi, serta pengalaman, tidak berbeda secara signifikan antara perusahaan yang terlibat kecurangan dengan yang tidak. Upaya-upaya pengaturan tata kelola perusahaan terbaru tampaknya telah mengurangi variasi dalam karakteristik terkait dewan direktur yang diamati.
· Dua puluh enam persen dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kecurangan mengganti auditor selama periode yang diteliti dibandingkan dengan hanya 12 persen dari perusahaan-perusahaan yang tidak terlibat.
· Berita awal dalam media massa mengenai dugaan adanya kecurangan mengakibatkan penurunan tidak normal harga saham rata-rata sebesar 16,7 persen untuk perusahaan yang terlibat kecurangan, dalam dua hari setelah pengumuman.
· Berita mengenai investigasi SEC atau Departemen Kehakiman mengakibatkan penurunan tidak normal harga saham rata-rata 7,3 persen.
· Perusahaan yang terlibat dalam kecurangan sering mengalami kebangkrutan, delisting dari bursa efek, atau melakukan penjualan aset yang material dengan tingkat yang jauh lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak terlibat kecurangan.
Penelitian COSO dilakukan oleh empat profesor akuntansi: Mark S. Beasley dari North Carolina State University, Joseph V. Carcello dari University of Tennessee, Dana R. Hermanson dari Kennesaw State University, dan Terry L. Neal dari University of Tennessee. Penelitian ini meng-update penelitian COSO sejenis sebelumnya diterbitkan pada tahun 1999, untuk kasus-kasus kecurangan pelaporan keuangan dekade 1987-1997.
Profesor Beasley, yang juga merupakan anggota dewan COSO, mencatat bahwa penelitian tambahan diperlukan untuk lebih memahami perbedaan dalam proses seputar dewan direksi dan komite audit. ”Kita perlu untuk menentukan apakah ada proses tertentu berkaitan dengan dewan direksi yang dapat memperkuat pengawasan mereka terhadap risiko-risiko yang mempengaruhi laporan keuangan,” katanya. ”Selain itu, mengingat jumlah kecurangan diperiksa dalam penelitian ini terbatas dan terkait dengan jangka waktu setelah penerbitan Sarbanes-Oxley Act of 2002 termasuk implementasi Seksi 404, penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum dapat diambil kesimpulan tentang dampak SOX tersebut dalam mengurangi kecurangan pelaporan keuangan.” Dokumen penelitian ini dapat diunduh secara gratis di situs web COSO:
ref : www.auditorinternal.com
Label: artikel
Harmonisasi Akuntansi Internasional
Harmonisasi merupakan proses untuk meningkatkan kompabilitas (kesesuaian) praktik akuntansi dengan menentukan batasan-batasan seberapa besar praktik-praktik tersebut dapat beragam.
Harmonisasi akuntansi internasional saat ini merupakan salah satu isu terpenting yang dihadapi oleh pembuat standar akuntansi, badan pengatur pasar modal, bursa efek, dan mereka yang menyusun atau menggunakan laporan keuangan.
Istilah harmonisasi dan standarisasi seolah-olah memiliki arti yang sama. Secara umum, standarisasi berarti penetapan sekelompok aturan yang kaku dan sempit bahkan mungkin penerapan satu standar atau aturan tunggal dalam segala situasi. Standarisasi tidak mengakomodasi perbedaan-perbedaan antar negara, dan oleh karenanya lebih sukar untuk diimplementasikan secara internasional.
Sedangkan Harmonisasi lebih fleksibel dan terbuka, tidak menggunakan pendekatan satu ukuran untuk semua, tetapi mengakomodasi beberapa perbedaan dan telah mengalami kemajuan besar secara internasional dalam tahun-tahun terakhir.
Komparabilitas informasi keuangan merupakan konsep yang lebih jelas daripada harmonisasi. Informasi keuangan yang dihasilkan dari sistem akuntansi, pengungkapan atau audit yang berbeda dapat dibandingkan jika memiliki kemiripan dalam cara dimana para pengguna laporan keuangan dapat membandingkannya (setidaknya dalam beberapa aspek) tanpa perlu membiasakan diri dengan lebih dari satu sistem.
Harmonisasi akuntansi mencakup :
Harmonisasi akan standar akuntansi yang berkaitan dengan pengukuran dan pengungkapan,
Harmonisasi akan pengungkapan yang dibuat oleh perusahaan-perusahan publik terkait dengan penawaran surat berharga dan pencatatan pada bursa efek, dan
Harmonisasi akan standar audit
Pendukung Harmonisasi Internasional
Para pendukung harmonisasi internasional mengatakan bahwa harmonisasi (bahkan standarisasi) memiliki banyak keuntungan. Sir Bryan Carsberg, mantan Sekretaris Jenderal IASC, menulis sekitar bulan September 2000 :
Pendekatan yang hati-hati untuk menganalisis keinginan akan harmonisasi internasional memperlihatkan bahwa biaya dan manfaat yang diperoleh berbeda-beda dari satu kasus ke kasus yang lain. Mereka yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu mungkin merasa beruntung bahwa Inggris menjadi bahasa kedua yang sangat banyak digunakan diseluruh dunia. Namun demikian, meskipun dapat dilakukan, kita tidak dapat memperoleh kesepakatan bahwa Inggris atau bahasa umum lainnya harus digunakan untuk menggantikan 6.800 bahasa atau lebih yang sekarang ini digunakan di dunia. Kita mengakui bahwa bahasa merupakan wahana budaya yang tak tergantikan dan bahwa penghapusan budaya yang berbeda akan menyebabkan kerugian yang sangat besar dalam bidang sastra dan ekspresi budaya lainnya.
Bagaimana dengan harmonisasi perpajakan dan sistem jaminan sosial ? Kalangan usaha akan mengalami manfaat yang cukup besar dalam perencanaan, biaya sistem dan pelatihan, dan sebagainya dari harmonisasi. Namun kasus ini menunjukkan kepada kita kerugian harmonisasi yang lain.
Perpajakan dan sistem jaminan sosial memiliki pengaruh yang kuat terhadap efisiensi ekonomi. Sistem yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda. Kemampuan untuk membandingkan cara kerja pendekatan yang berbeda di negara yang berbeda menyebabkan negara-negara mampu melakukan peningkatan sistem mereka masing-masing. Negara-negara saling berkompetisi dan kompetisi memaksa mereka untuk mengadopsi sistem yang efisien melalui beroperasinya semacam kekuatan pasar. Persetujuan atas sistem perpajakan yang satu akan menjadi seperti pendirian kartel dan akan menghilangkan manfaat yang akan diperoleh dari kompetisi antar negara.
Sebuah tulisan terbaru juga mendukung adanya suatu “GAAP global” yang terharmonisasi. Beberapa manfaat yang disebutkan antara lain :
Pasar modal menjadi global dan modal investasi dapat bergerak diseluruh dunia tanpa hambatan berarti. Standar pelaporan keuangan berkualitas tinggi yang digunakan secara konsisten di seluruh dunia akan memperbaiki efisiensi alokasi modal.
Investor dapat membuat keputusan investasi yang lebih baik; portofolio akan lebih beragam dan resiko keuangan berkurang.
Perusahaan-perusahaan dapat memperbaiki proses pengambilan keputusan strategi dalam bidang merger dan akuisisi
Gagasan terbaik yang timbul dari aktivitas pembuatan standar dapat disebarkan dalam mengembangkan standar global yang berkualitas tertinggi.
Sejarah Penentuan Standard Akuntansi Internasional
Awal tahun 1971 ( sebelum pembentukan IASC ), beberapa pihak mengatakan bahwa penentuan standar internasional merupakan solusi yang terlalu sederhana atas masalah yang rumit. Dinyatakan pula bahwa akuntansi, sebagai ilmu sosial, telah memiliki fleksibilitas yang terbangun dengan sendiri didalamnya dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang sangat berbeda merupakan salah satu nilai terpenting yang dimilikinya.
Pada saat standar internasional diragukan dapat menjadi fleksibel untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dalam latar belakang, tradisi, dan lingkungan ekonomi sosial, maka beberapa orang berpendapat bahwa hal ini akan menjadi sebuah tantangan secara politik tidak dapat diterima terhadap kedaulatan nasional.
Beberapa pengamat yang lain mengatakan bahwa penetapan standar akuntansi internasional pada dasarnya merupakan sebuah taktik kantor-kantor akuntan besar yang menyediakan jasa akuntansi internasional untuk memperluas pasar.
Lebih jauh lagi, ditakutkan bahwa adopsi standar internasional akan menimbulkan “standar yang berlebihan.” Perusahaan harus merespons terhadap susunan tekanan nasional, sosial, politik, dan ekonomi yang semakin meningkat dan semakin dibuat untuk memenuhi ketentuan internasional tambahan yang rumit dan berbiaya besar. Argumen terkait adalah perhatian politik nasional sering kali berpengaruh terhadap standar akuntansi dan bahwa pengaruh politik internasional tidak terhindari lagi akan menyebabkan kompromi standar akuntansi.
Dua pendekatan yang diajukan sebagai solusi guna mengatasi permasalahan yang terkait dengan isi laporan keuangan lintas batas :
(1) Rekonsiliasi
(2) Pengakuan bersama ( yang disebut sebagai “imbal balik”/resiprositas)
Rekonsiliasi berbiaya lebih rendah bila dibandingkan dengan penyusunan laporan keuangan lengkap berdasarkan prinsip akuntansi yang berbeda. Namun hanya menyajikan ringkasan, bukan gambaran perusahaan yang utuh.
Pengakuan bersama terjadi apabila pihak regulator diluar negara asal menerima laporan keuangan perusahaan asing yang didasarkan pada prinsip-prinsip negara asal. Imbal balik tidak meningkatkan perbandingan laporan keuangan lintas negara dan dapat menimbulkan “lahan bermain yang tidak seimbang” yang mana memungkinkan perusahaan-perusahaan asing menerapkan standar yang tidak terlalu ketat bila dibandingkan dengan yang diterapkan terhadap perusahaan domestik.
Perdebatan mengenai harmonisasi mungkin tidak akan pernah terselesaikan dengan penuh. Sebagian besar perusahaan secara sukarela mengadopsi Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting Standards-IFRS). Dan banyak pula negara yang telah mengadopsi IFRS secara keseluruhan.
Standar akuntansi internasional digunakan sebagai hasil dari :
(a) Perjanjian internasional atau politis;
(b) Kepatuhan secara sukarela (atau didorong secara profesional);
(c) Keputusan oleh badan pembuat standar akuntansi nasional.
Usaha-usaha standar internasional lain dalam bidang akuntansi pada dasarnya dilakukan secara sukarela. Standar-standar itu akan diterima atau tidak tergantung pada orang-orang yang menggunakan standar-standar akuntansi. Saat standar internasional dan standar nasional tidak sama, tidak akan jadi masalah, tetapi ketika kedua standar tersebut berbeda, standar nasional harus menjadi rujukan pertama (mempunyai keunggulan).
Organisasi Internasional yang Mendorong Harmonisasi
Enam organisasi telah menjadi pemain utama dalam penentuan standard akuntansi internasional dan dalam mempromosikan harmonisasi akuntansi internasional :
1) Badan standard Akuntansi Internasional (IASB)
2) Komisi Uni Eropa (EU)
3) Organisasi Internasional Komisi Pasar Modal (IOSCO)
4) Federasi Internasional Akuntan (IFAC)
5) Kelompok kerja ahli antarpemerintah Perserikatan Bangsa-bangsa atas standard Internasional Akuntansi dan Pelaporan, bagian dari konfrensi Perserikatan Bangsa-bangsa dalam perdagangan dan pembangunan.
6) Kelompok kerja dalam standard Akuntansi Organisasi kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (kelompok kerja OECD)
Yang juga penting adalah Federasi Internasional Bursa Efek (FIBV) organisasi perdagangan untuk pasar surat berharga dan derivatif yang teratur diseluruh dunia. Salah satu tujuan FIBV adalah untuk menetapkan standard harmonis untuk proses usaha dalam perdagangan surat berharga lintas batas, termasuk penawaran publik lintas batas.
Badan Standard Akuntansi Internasional
Badan Standard Akuntansi Internasional (IASB) dahulu IASC, merupakan badan pembuat standar sektor swasta yang independen yang didirikan pada tahun 1973 oleh organisasi akuntansi profesional di sembilan negara dan direstrukturisasi pada tahun 2001. Sebelum restrukturisasi IASC mengeluarkan 41 Standard Akuntansi Internasional (IAS) dan sebuah kerangka dasar untuk penyusunan dan penyajian Laporan Keuangan.
Tujuan IASB adalah :
Untuk mengembangkan dalam kepentingan umum, satu set standard akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat dipahami dan dapat diterapkan yang mewajibkan informasi yang berkualitas tinggi,transparan, dan dapat dibandingkan dalam laporan keuangan dan pelaporan keuangan lainnya untuk membantu para partisipan dalam pasar modal dunia dan pengguna lainnya dalam membuat keputusan ekonomi.
untuk mendorong penggunaan dan penerapan standar-standar tersebut yang ketat.
untuk membawa konvergensi standar akuntansi nasional dan standar akuntansi internasional dan standard Pelaporan Keuangan Internasional ke arah solusi berkualitas tinggi.
IASB mewakili organisasi akuntansi dari sekitar 100 negara. Dengan sedemikian luasnya dasar dukungan ini, IASB merupakan kekuatan pendorong dalam penentuan standard akuntansi.
Struktur IASB yang Baru
Dewan IASB membentuk suatu kelompok kerja strategi yang mempertimbangkan bagaimana seharusnya strategi dan struktur IASC setelah menyelesaikan program kerja standard ini. Pada November 1999 dewan IASC secara bulat menyetujui suatu resolusi yang mendukung usulan struktur baru intinya adalah :
1) IASC akan didirikan sebagai sebuah organisasi independent
2) Organisasi tersebut akan terdiri dari dua bagian utama, Perwalian dan Dewan, serta komite Interpretasi tetap dan dewan penasihat standard
3) Perwalian akan menunjuk anggota dewan,melakukan pengawasan dan mengumpulkan dana yang diperlukan, sedangkan dewan memiliki tanggung jawab tunggal untuk penentuan standard akuntansiI
IASB yang direstrukturisasi tersebut bertemu untuk pertama kalinya pada bulan april 2001. IASB , setelah direorganisasi akan mencakup badan berikut :
Badan Wali. Badan wali IASB mengangkat anggota dewan, komite interpretasi pelaporan keuangan internasional dan dewan penasihat standard. Perwalian bertanggung jawab untuk mengumpulkan dana dan mengawasi serta mengevaluasi prioritas dan operasi IASB.
Dewan IASB. Dewan menetapkan dan memperbaiki standard akuntansi keuangan dan pelaporan usaha. Tanggungjawabnya meliputi ”memenuhi tanggung jawab untuk seluruh permasahalan teknis IASB termasuk penyusunan dan penerbitan standard Akuntansi Internasional,Standard Pelaporan Keuangan Internasional,dan Draf Standard… serta persetujuan akhir atas interpretasi yang dikeluarkan oleh komite Interpretasi Pelaporan Keuangan.” dan menyetujui proposal proyek serta metode dan prosedur untuk mengembangkan standard. Dewan yang ditunjuk oleh Badan Wali untuk memberikan”kombinasi terbaik yang ada dari keahlian teknik dan latar belakang pengalaman bisnis internasional dan kondisi pasar yang relevan”. Anggota-anggota tersebut diangkat untuk masa lima tahun, dan hanya dapat diperpanjang satu kali.
Dewan Penasihat Standard. Dewan penasihat standard ditunjuk oleh perwalian, yang memiliki latar belakang geografis dan profesional yang berbeda,yang ditunjuk untuk masa tiga tahun yang dapat diperbaharui”. Dewan Penasihat standard umumnya bertemu tiga kali setiap tahun. Tanggung jawabnya adalah untuk memberikan nasihat kepada dewan mengenai agenda dan prioritasnya, untuk memberikan pandangan mengenai dewan atas ”organisasi dan individual dalam dewan atas proyek penentuan standard utama” dan untuk memberikan ”nasihat lainnya” kepada dewan dan perwalian.
Komite Interpretasi Pelaporan Keuangan Internasional (IFRIC). IFRIC diangkat oleh perwalian. IFRIC menginterpretasikan ”Penerapan Standard Akuntansi Internasional dan standar pelaporan keuangan internasional dalam konteks kerangka dasar IASB” menerbitkan rancangan interpretasi dan mengevaluasi komentar atasnya dan memperoleh persetujuan dewan untuk interpretasi akhir.
Pengakuan dan Dukungan bagi IASB
Standar Pelaporan Keuangan Internasional saat ini telah diterima secara luas di seluruh dunia, sebagai contoh :
(1) digunakan oleh banyak negara sebagai dasar ketentuan akuntansi nasional;
(2) digunakan sebagai acuan internasional di kebanyakan negara-negara industri utama dan negara-negara pasar berkembang yang membuat standarnya sendiri;
(3) diterima oleh banyak bursa efek dan badan regulator yang memperbolehkan perusahaan asing atau domestik untuk menyampaikan laporan keuangan yang disusun menurut IFRS;
(4) diakui oleh Komisi Eropa dan badan supranasional lainnya.
Respons Komisi Pasar Modal AS terhadap IFRS
SEC (Komisi Pasar Modal AS) menyatakan 3 kondisi yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebelum SEC menerima standar IASB. Adapun 3 kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Standar harus mencakup bagian inti ketentuan akuntansi yang menentukan dasar akuntansi yang komprehensif dan secara umum dapat diterima
(2) Standar harus berkualitas tinggi, menghasilkan daya banding dan transparansi, serta memberikan pengungkapan penuh
(3) Standar harus di interpretasikan dan diterapkan secara ketat.
Perbandingan antara IFRS dan Isi Prinsip Akuntansi Komprehensif lainnya
Badan Standar Akuntansi Keuangan AS (FASB) telah memulai suatu proyek besar yang membandingkan IAS dengan standar AS pada tahun 1995, dan menerbitkan laporan yang detail pada tahun 1996 dan 1999. proyek perbandingan antara IASC dan GAAP AS merupakan bagian dari rencana FASB untuk aktivitas internasional, yang mencakup promosi daya banding internasional standar akuntansi. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dalam menilai dapat diterimanya IAS untuk pencatatan surat berharga di Amerika Serikat.
Studi lain telah dilaksanakan dengan tujuan untuk mendorong konvergensi antara standar akuntansi nasional dengan IFRS.
UNI EROPA (EUROPEAN UNION – EU)
Traktat Roma mendirikan EU pada tahun 1957, dengan tujuan untuk mengharmonisasikan sistem hukum dan ekonomi negara-negara anggotanya
Komisi Eropa (EC, badan berkuasa dalam EU) memliki kekuasaan penuh atas direktif akuntansinya terhadap seluruh negara anggota.
Salah satu tujuan EU adalah untuk mencapai integrasi pasar keuangan Eropa. Untuk mencapai tujuan ini, EC telah memperkenalkan direktif dan mengambil langkah inisiatif yang sangat besar untuk mencapai pasar tunggal bagi :
- Perolehan modal dalam tingkat EU
- Membuat kerangka dasar hukum umum untuk pasar surat berharga dan derivatif yang terintegrasi
- Mencapai satu set standar akuntansi tunggal untuk perusahaan-perusahaan yang sahamnya tercatat.
EC telah meluncurkan suatu program utama harmonisasi hukum perusahaan segera sesudah pembentukannya. Direktif EC saat ini telah mencakup seluruh aspek hukum perusahaan, beberapa diantaranya memiliki pengaruh langsung terhadap akuntansi.
Direktif EU Keempat, yang dikeluarkan pada tahun 1978 merupakan satu set aturan akuntansi yang paling luas dan komprehensif dalam kerangka dasar EU. Ketentuan Direktif Keempat berlaku bagi akun-akun perusahaan secara individu dan mencakup aturan bentuk laporan keuangan, ketentuan pengungkapan, dan aturan penilaian. Pandangan yang tepat dan wajar merupakan ketentuan paling dasar dan mempengaruhi pengungkapan dalam bentuk catatan kaki, sebagaimana halnya mempengaruhi laporan keuangan. Direktif Keempat juga mewajibkan laporan keuangan untuk diaudit. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa mengungkapkan informasi yang dapat dibandingkan dan setara dalam laporan keuangannya.
Direktif Ketujuh, yang dikeluarkan pada tahun 1983, membahas masalah-masalah laporan keuangan konsolidasi. Pada saat itu, laporan keuangan konsolidasi merupakan kekecualian dan bukan kewajiban. Direktif Ketujuh mewajibkan konsolidasi bagi kelompok usaha yang besarnya di atas ukuran tertentu, menentukan pengungkapan dalam catatan dan laporan direktur, dan mewajibkan dilakukannya audit.
Direktif Kedelapan, dikeluarkan pada tahun 1984, membahas berbagai aspek kualifikasi profesional yang berwenang untuk melaksanakan audit yang diwajibkan oleh hukum (audit wajib). Pada dasarnya, direktif ini menentukan kualifikasi minimum auditor. Direktif ini juga tidak membahas kebebasan pendirian profesional di antara negara-negara EU. Pelatihan wajib harus diselesaikan di bawah pengawasan seorang auditor yang telah ditunjuk. Harus terdapat indepedensi, namun Direktif Kedelapan memberikan kekuasaan diskresi terhadap negara-negara EU untuk menentukan kondisi-kondisi indepedensi.
Label: Tugas kuliah
Senin, 28 Februari 2011
Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
0 komentar Diposting oleh jelita lusty deys di 05.45Akuntansi Syariah
Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).
Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8
Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
Label: artikel
Teori dan Aplikasi Free Trade (Liberalisasi Perdagangan Internasional)
0 komentar Diposting oleh jelita lusty deys di 05.39Teori dan Aplikasi Free Trade
(Liberalisasi Perdagangan Internasional)
Menurut David Ricardo, pada dasarnya perdagangan internasional didorong oleh adanya comparative advantange dimana produk di suatu negara tidak dapat diproduksi negara lain dan competitive advantange dimana negara dapat mengambil keuntungan dari spesialisasi produk yang memiliki opportunity cost lebih kecil dari negara mitra dagangnya. Perdagangan internasional juga menguntungkan baik bagi produsen maupun konsumen, dimana adanya keuntungan dari economic of scale yaitu penurunan average fixed cost dari produksi dalam jumlah yang besar serta spesialisasi produk yang membuat pilihan produk menjadi beragam.
Adanya hambatan atas impor untuk memproteksi industri dalam negeri baik tarif ataupun kuota, telah membuat distorsi terhadap harga pasar internasional baik produk lokal maupun impor. Terdapat penurunan consumer surplus dimana untuk kuantitas yang sama, konsumen harus membayar lebih mahal. Berdasarkan analisa makroekonomi, walaupun terdapat producer surplus dari kenaikan harga pasar global dan tax revenue buat pemerintah, namun jumlahnya lebih kecil daripada penurunan consumer surplus. Hal inilah yang menjadi net loss bagi seluruh masyarakat. Atas dasar itulah, terdapat gagasan untuk melakukan liberalisasi perdagangan (free trade) dimana tarif diminimalkan bahkan dihapuskan untuk meningkatkan consumer surplus. Peningkatan consumer surplus ini dapat meningkatkan investasi maupun pajak penghasilan serta memperbesar volume perdagangan.
Penghapusan tarif yang berlaku selama ini didasari atas free trade agreement antar negara maupun antar beberapa negara. Namun karena hanya beberapa negara saja yang menyepakati penghapusan tarif maka pasar masih belum seefisien dan senetral mungkin membentuk harga. Kemungkinan negara dengan biaya produksi tinggi bebas tarif namun adanya negara dengan biaya produksi rendah namun terkena tarif karena tidak terlibat dalam free trade agreement dapat menyebabkan trade diversion (pengalihan perhatian konsumen). Hal ini dapat menyebabkan potential loss bagi consumer surplus karena seharusnya konsumen dapat membayar dengan harga yang lebih murah. Karena itu perlu adanya penetapan tarif bersama yang lebih global agar tercipta pasar yang lebih efisien.
Atas dasar itulah dibentuk organisasi internasional yang bertujuan mensupervisi dan meliberalisasi perdagangan internasional secara global yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibentuk 1947 yang dilanjutkan oleh World Trade Organization (WTO) yang dibentuk tahun 1994. WTO mempunyai 153 anggota dan merepresentasikan 93% dari perdagangan internasional sehinnga kebijakannya memungkinkan terciptanya pasar dunia yang efisien.
Setelah berjalan, WTO mendapat banyak kritik dari para ekonom terutama adanya indikasi keberpihakannya terhadap negara-negara maju yang menekan negara-negara berkembang dengan negotiation power yang kurang. Martin Khor dari The Third World Network (2007) menyatakan indikasi tersebut sebagai berikut:
Beberapa negara maju masih dapat mengenakan bea masuk yang tinggi pada produk tertentu, contoh: bea masuk pada tekstil di AS.
Banyaknya hambatan non tarif baru seperti Anti-Dumping (bila harga produk yang diekspor dan dijual di pasar domestik berbeda), Safeguard (lonjakan barang kompetitor impor yang mengancam industri dalam negeri), dan Counterveilling (adanya subsidi yang dasarnya tidak jelas terhadap barang ekspor) dimana negara berkembang banyak dituntut oleh negara maju.
Proteksi terhadap produk agrikultur dari negara berkembang di negara maju dengan persyaratan kualitas barang.
Banyaknya negara berkembang yang kurang mempunyai kapasitas bernegosiasi dan berpartisipasi aktif di Uruguay Round.
TRIP Agreement (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang membatasi negara berkembang untuk mengembangkan teknologi yang berasal dari luar negeri pada sistem lokal.
Hal inilah yang membuat banyak negara mempertanyakan transparasi dari WTO dalam pengambilan keputusan. Kecenderungan WTO terhadap negara maju memungkinkan adanya trade diversion baru yang membuat inefisiensi pasar.
Berdasarkan fakta tersebut, sebaiknya dilakukan hal sebagai berikut:
Pemerintah negara berkembang harus lebih aktif dalam melakukan negoisasi dalam WTO terutama masalah proteksi negara maju terhadap impor agrikultur dan bea masuk yang masih tinggi.
Kebijakan WTO atas anti-dumping, counterveiling, safeguard, dsb harus direvisi kembali terutama bila pembuktiannya sulit dilakukan terutama untuk counterveilling karena industri negara berkembang masih sangat memerlukan subsidi pemerintah untuk berkembang.
Kebijakan WTO mengenai TRIP Agreement sebaiknya dihapuskan saja karena bukan merupakan kewenangan WTO dalam mengurusi Intellectual Property Rights
Label: artikel
Standar akuntansi adalah regulasi atau aturan (termasuk pula hukum dan anggaran dasar) yang mengatur penyusunan laporan keuangan. Penetapan standar adalah proses perumusan atau formulasi standar akuntansi. Standar merupakan hasil dari penetapan standar. Namun, praktek sebenarnya berbeda dari yang ditentukan standar. Hal itu disebabkan 4 hal: di kebanyakan negara hukuman atas ketidakpatuhan dengan ketentuan akuntansi resmi cenderung lemah dan tidak efektif; secara sukarela perusahaan boleh melaporkan infomasi lebih banyak daripada yang diharuskan; beberapa Negara memperbolehkan perusahaan untuk mengabaikan standar akuntansi jika dengan melakukannya operasi dan posisi keuangan perusahaan akan tersajikan secara lebih baik hasil; dan di beberapa Negara standar hanya berlaku untuk laporan keuangan perusahaan secara tersendiri, dan bukan untuk laporan konsolidasi.
Penetapan standar akuntansi melibatkan gabungan kelompok sector swasta yang meliputi profesi akuntansi, pengguna dan penyusun laporan keuangan, para karyawan dan kelompok public yang meliputi badan-badan seperti otoritas pajak, kementrian yang bertanggungjawab atas hukum komersial dan komisi pasar modal. Bursa efek yang merupakan sector swasta atau public (tergantung negaranya) juga mempengaruhi proses tersebut. Di Negara-negara hukum umum, sector swasta lebih berpengaruh dan profesi auditing cenderung untuk dapat mengatur sendiri dan untuk lebih dapat melakukan pertimbangan atas atestasi terhadap penyajian wajar laporan keuangan. Di Negara-negara hukum kode, sector public lebih berpengaruh dan profesi akuntansi cenderung untuk lebih diatur oleh Negara. Hal ini yang menyebabkan mengapa standar akuntansi berbeda-beda di seluruh dunia.
ENAM SISTEM AKUNTANSI NASIONAL
PERANCIS
Akuntansi di Perancis sangat terkait dengan kode sehingga sangat mungkin melewatkan kenyataan bahwa legislasi hukum komersial (Code de Commerce) dan hukum pajak sebenarnya menentukan banyak praktek akuntansi dan pelaporan keuangan di Perancis. Dasar utama aturan akuntansi adalah Hukum Akuntansi 1983 dan Dekrit akuntansi 1983 yang memuat Plan Compatible General wajib digunakan oleh seluruh perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki manual akuntansi. Ciri khusus akuntansi di Perancis adalah terdapatnya dikotomi antara laporan keuangan perusahaan secara tersendiri dengan laporan kelompok yang dikonsolidasikan. Hukum Perancis memperbolehkan perusahaan Perancis untuk mengikuti Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting Standards-IFRS). Alasannya, banyak perusahaan multinasional dari Perancis yang mencatat sahamnya di luar negeri.
Lima organisasi utama yang terlibat dalam proses penetapan standard di Perancis:
a. Counseil National de la Comptabilite atau CNC (Badan Akuntansi Nasional)
b. Comite de la Reglementation Comptable atau CRC (Komite Regulasi Akuntansi)
c. Autorite des Marches Financiers atau AMF (Otoritas Pasar Keuangan)
d. Ordre des Experts-Comptables atau OEC (Ikatan Akuntan Publik)
e. Compagnie Nationale des Commisaires aux Comptes atau CNCC (Ikatan Auditor Kepatuhan Nasional)
Perusahaan Perancis melaporkan neraca, laporan laba rugi, catatan atas laporan keuangan, laporan direktur, dan laporan auditor. Tidak terdapat ketentuan mengenai laporan perubahan posisi keuangan atau laporan arus kas walaupun CNCC merekomendasikan untuk membuatnya. Untuk memberikan gambaran yang sebenarnya dan sewajarnya (image fidele), laporan keuangan harus disusun sesuai dengan peraturan (regularite) dan dengan niat baik (sincerite).
Dalam pengukuran akuntansi, aktiva tetap didepresiasikan menurut provisi pajak umumnya menurut garis lurus atau saldo berganda. Persediaan harus dinilai sebesar nilai yang lebih rendah antara biaya atau nilai realisasi dengan menggunakan metode FIFO atau metode rata-rata tertimbang. Biaya penelitian yang diamortisasi tidak lebih dari 5 tahun. Kebanyakan resiko dan ketidakpastian dapat dicadangkan, seperti yang terkait dengan litigasi, restrukturisasi, dan asuransi swadaya dan hal ini memungkinkan timbulnya kesempatan melakukan perataan laba.
JERMAN
Negara Jerman adalah salah satu Negara yang mendominasi perkembangan Akuntansi Internasional saat ini. Negara Jerman merupakan salah satu pendiri Komite Standar Akuntansi Internasional atau International Accounting Standards Board (IASB) dan memiliki peran penting dalam mengarahkan agenda IASB. Negara-negara yang lainnya adalah Prancis, Jepang, Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat.
Lingkungan akuntansi di Jerman mengalami perubahan terus menerus dan hasilnya luar biasa sejak berakhirnya Perang Dunia I. Hukum komersial pada secara khusus menuntut adanya berbagai prinsip tata buku yang teratur dan audit secara independen hampir tidak tersisa setelah perang usai. Hukum perusahaan tahun 1965 mengubah sistem pelaporan keunagan Jerman dengan mengarah pada ide-ide Inggris Amerika tetapi hanya berlaku bagi perusahaan besar. Pada awal tahun 1970an, Uni Eropa mulai mengeluarkan direktif harmonisasi, yang harus diadopsi oleh Negara-negara anggotanya ke dalam hukum nasional. Direktif Uni Eropa yang keempat, ketujuh, dan kedelapan seluruhnya masuk ke dalam hukum Jerman melalui Undang-Undang Akuntansi Komprehensif yang diberlakukan pada tanggal 19 Desember 1985. Dua undang-undang baru diberlakukan pada tahun 1998, yang pertama menambah sebuah paragraf baru dalam buku ketiga Hukum Komersial Jerman sehingga memungkinkan perusahaan yang menerbitkan saham/utang pada sebuah pasar modal yang terorganisir untuk menggunakan prinsip akuntansi yang diterima secara internasional dalam laporan keuangan konsolidasi yang dibuatnya. Kedua, memperbolehkan pendirian organisasi sektor swasta untuk menetapkan standar akuntansi atas laporan keuangan konsolidasi. Hukum pajak secara garis besar menentukan akuntansi komersial. Prinsip penentuan (Massgeblichkeitsprinzip) menentukan bahwa laba kena pajak ditentukan oleh apa yang tercatat dalam catatan keuangan perusahaan.
Undang-undang tentang pengendalian dan transparansi tahun 1998 memperkenalkan keharusan bagi kementrian kehakiman untuk mengakui badan swasta yang menetapkan standard nasional untuk memenuhi tujuan berikut:
1. Mengembangkan rekomendasi atas penerapan standar akuntansi dalam laporan keuangan konsolidasi
2. Memberikan nasehat kepada kementrian kehakiman atas legislasi akuntansi yang baru
3. Mewakili Jerman dalam organisasi akuntansi internasional seperti IASB
Undang-undang Akuntansi tahun 1985 secara khusus menentukan ketentuan akuntansi, auditing, dan pelaporan keuangan yang berbeda-beda menurut ukuran perusahaan, bukan menurut bentuk orgasisasi. Undang-undang Akuntansi 1985 secara khusus menentukan isi dan bentuk laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan laba rugi, catatan atas laporan keuangan, laporan manajemen, dan laporan auditor.
Berdasarkan hukum komersial (HGB), metode pembelian/akuisisi adalah metode konsolidasi yang utama, meskipun penyatuan kepemilikan juga dapat diterapkan dalam kondisi yang terbatas. Dua bentuk metode pembelian yang diizinkan adalah metode nilai buku dan metode revaluasi. HGB tidak mengatur translasi mata uang asing dan perusahaan di Jerman menggunakan sejumlah metode. Perbedaan translasi diperlakukan dengan beberapa cara, akibatnya perhatian khusus harus diberikan terhadap catatan laporan keuangan di mana metode translasi mata uang asing harus dijelaskan.
JEPANG
Akuntansi dan pelaporan keuangan di Jepang mencerminkan gabungan berbagai pengaruh domestic dan internasional. Untuk memahami akuntansi di Jepang, seseorang harus memahami budaya, praktik usaha, dan sejarah Jepang. Jepang merupakan masyarakat tradisional dengan akar budaya dan agama yang kuat. Perusahaan-perusahaan Jepang saling memiliki ekuitas saham satu sama lain, dan seringkali bersama-sama memiliki perusahaan lain. Investasi yang saling bertautan ini menghasilkan konglomerasi industri yang meraksasa yang disebut sebagai Keiretsu. Modal usaha Keiretsu ini sedang dalam perubahan seiring dengan refomasi struktural yang dilakukan Jepang untuk mengatasi stagnasi ekonomi yang berawal pada tahun 1990an.
Pemerintah nasional masih memiliki pengaruh paling signifikan terhadap akuntansi di Jepang. Regulasi akuntansi didasarkan pada tiga undang-undang, yaitu hukum komersial, undang-undang pasar modal, dan undang-undang pajak penghasilan perusahaan. Hukum komersial diatur oleh kementrian kehakiman (MOJ). Hukum tersebut merupakan inti dari regulasi akuntansi di Jepang dan yang paling memiliki pengaruh besar. Perusahaan milik public harus memenuhi ketentuan lebih lanjut dalam undang-udang pasar modal (Securities and Exchange Law-SEL) yang diatur oleh Kementrian Keuangan. Tujuan utama SEL adalah untuk memberikan informasi dalam pengambilan keputusan investasi.
Perusahaan yang didirikan menurut hukum komersial diwajibkan untuk menyususn laporan wajib yang harus mendapatkan persetujuan dalam rapat tahunan pemegang saham yang berisi necara, laporan laba rugi, laporan usaha, proposal atas penggunaan (apropriasi) laba ditahan, schedule pendukung. Perusahaan yang mencatatkan sahamnya juga harus menyusun laporan keuangan sesuai dengan undang-undang pasar modal yang secara umum mewajibkan laporan keuangan dasar yang sama dengan hukum komersial ditamabha dengan laporan arus kas.
Hukum komersial mewajibkan perusahaan-perusahan besar untuk menyusun laporan konsolidasi. Anak perusahaan dikonsolidasikan jika induk perusahaan secara langsung dan tidak langsung mengendalikan kebijakan keuangan dan operasionalnya. Goodwill diukur menurut dasar nilai wajar aktiva bersih yang diakuisisi dan diamortisasi selama maksimum 20 tahun. Persediaan dapat dinilai berdasarkan biaya perolehan mana yang lebih rendah antara biaya atau harga pasar, namun biaya yang paling banyak digunakan.
Regulasi dan Penegakan Aturan Akuntansi
Pemerintah nasional memiliki pengaruh paling signifikann terhadap akuntansi di Jepang. Regulasi akuntansi didasarkan pada tiga undang- undang: Hukum Komersial, Undang- undang Pasar Modal dan Undang- undang Pajak Penghasilan Perusahaan. Ketiga hokum tersebut berhubungan dan berkaitan satu sama lain. Seseorang peneliti Jepang menyebut keadaan tersebut sebagai “ Sistem Hukum segitiga “.
Hukum Komersial diatur oleh Kementrian Kehakiman ( MOJ ). Hukum tersebut merupakan inti dari regulasi akuntansi di Jepang dan yang paling memiliki pengaruh besar. Seluruh perusahaan yang didirikan menurut Hukum Komersial diwajibkan untuk memenuhi provisi akuntansi, yang dimuat dalam “ aturan- aturan menyangkut neraca, laporan laba rugi , laporan usaha, dan skedul pendukung perusahaan dengan kewajiban terbatas.
Perusahaan milik public harus memenuhi ketentuan lebih lanjut dalam Undang- undang Pasar Modal ( Securities and Exchange Law – SEL ) yang diatur oleh Kementrian Keuangan. SEL dibuat berdasarkan Undang – undang Pasar Modal AS dan diberlakukan terhadap Jepang oleh Amerika Serikat selama masa pendudukan AS setelah Perang Dunia II. Tujuan utama SEL adalah untuk memberikan informasi dalam pengambilan keputusan investasi.
Dewan Pertimbangan Akuntansi Usaha ( Business Accounting Deliberation Council – BADC ) merupakan lembaga penasehat khusus bagi Kementrian Keuangan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan standar akuntansi sesuai dengan SEL. BADC diangkat oleh Kementrian Keuangan dan bekerja paruh waktu. Mereka berasal dari kalangan akademis, pemerintahan, lingkaran bisnis serta anggota Institut Akuntan Publik bersertifikat di Jepang ( Japan Institut Of Certified Accountants – JICPA ). ( Anggota BADC memiliki latar belakang akuntansi, berbeda dengan latar belakang hokum untuk individu yang bekerja dalam masalah – masalah Hukum Komersial pada Kementrian kehakiman ). BADC didukung oleh organisasi penelitian yang dikenal sebagai Institut Penelitian Keuangan Perusahaan ( Corporate Finance Research Institut).
JICPA merupakan organisasi profesi CPA di Jepang. Seluruh CPA harus menjadi anggota JICPA. Selain menyediakan tuntunan dalam pelaksanaan suatu audit, JICPA menerbitkan tuntunan implementasi dalam masalah- masalah akuntansi dan melakukan konsultasi dengan BADC dalam mengembangkan standar akuntansi. Standar auditing yang diterima secara umum (mirip yang ada di Amerika Serikat ), lebih disebarluaskan oleh BADC daripada oleh JICPA.
Pelaporan Keuangan
Perusahaan yang didirikan menurut Hukum Komersial diwajibkan untuk menyusun laporan wajib yang harus mendapat persetujuan dalam rapat tahunan pemegang saham, yang berisi hal- hal berikut :
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Usaha
4. Proposal atas Penentuan Penggunaan (apropriasi) Laba Ditahan
5. Skedul Pendukung
Perusahaan yang mencatatkan sahamnya juga harus menyusun laporan keuangan sesuai dengan Undang- undang Pasar Modal ( Securities and Exchange Laws – SEL ) yang secara umum mewajibkan laporan keuangan dasar yang sama dengan Hukum Komersial ditambah dengan laporan arus kas. Namun demikian, menurut SEL, laporan konsolidasilah yang menjadi perhatian utama, bukan laporan keuangan induk perusahaan. Catatan kaki skedul tambhan juga diwajibkan. Laporan keuangan dan skedul yang disusun sesuai dengan SEL harus diaudit oleh auditor independent.
Pengukuran Akuntansi
Hukum Komersial mewajibkan perusahaan- perusahaan besar untuk menyusun laporan konsolidasi. Selain itu, perusahaan yang mencatatkan saham harus menyusun laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan SEL.
Kebanyakan prakrik akuntansi yang sebelumnya dijelaskan dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari Perubahan Besar dalam Akuntansi seperti yang disebutkan sebelumnya. Perubahan – perubahan terakhir ini meliputi : (1) mengharuskan perusahaan yang mencatatkan sahamnya untuk membuat laporan arus kas; (2) memperluas jumlah anak perusahaan yang dikonsolidasikan berdasarkan kendali yang dimiliki dan bukan persentase kepemilikan; (3) memperluas jumlah perusahaan afiliasi yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas berdasarkan pengaruh signifikan dan bukan pada persentase kepemilikan; (4) menilai investasi dalam surat berharga sebesar harga pasar dan bukan harga perolehan; (5) provisi penuh atas kewajiban tangguhan; dan (6) akrual penuh atas pension dan kewajiban pensiun lainnya. Akuntansi di Jepang sedang dibentuk ulang agar sesuai dengan IFRS.
BELANDA
Akuntansi di Belanda memiliki beberapa paradoks yang menarik. Belanda memiliki ketentuan akuntansi dan pelaporan keuangan yang relative permisif, tetapi standar praktik profesional yang sangat tinggi. Belanda merupakan negara hukum kode, namun akuntansinya berorientasi pada penjayian wajar. Di Belanda, akuntansi dianggap sebagai cabang dari ekonomi usaha. Akibatnya, banyak pemikiran ekonomi yang dicurahkan terhadap topik-topik akuntansi dan khususnya terhadap pengukuran akuntansi.
Regulasi di Belanda tetap liberal sampai tahun 1970 ketika undang-undang laporan keuangan tahunan diberlakukan. Di antara provisi utama undang-undang tahun 1970 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Laporan keuangan tahunan harus menunjukkan gambaran yang wajar mengenai posisi dan hasil keuangan selama satu tahun
2. Laporan keuangn harus disusun sesuai dengan praktek usaha yang baik
3. Dasar penyajian aktiva dan kewajiban dan penentuan hasil operasi harus diungkapkan
4. Laporan keuangan harus disusun sesuai dengan dasar yang konsisten dan pengaruh material dari perubahan dalam prinsip akuntansi harus diungkapkan secukupnya
5. Informasi keungan komparatif untuk periode sebelumnya harus diungkapkan dalam laporan keuangan dan catatan kaki yang menyertainya
Kualitas laporan keuangan Belanda sangat seragam. Laporan keuangan wajib harus disusun dalam bahasa Belanda namun dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman dapat diterima. Laporan keuangan harus memuat hal-hal berikut: neraca, laporan laba rugi, catatan-catatan , laporan direksi, dan informasi lain yang direkomendasikan. Laporan keuangan tahunan harus disajikan baik berdasarkan induk perusahaan saja maupun konsolidasi. Kelompok-kelompok perusahaan untuk tujuan konsolidasi terdiri dari perusahaan-perusahaan yang membentuk unit ekonomi yang berada di bawah kendali yang sama.
Meskipun metode penyatuan untuk penggabungan usaha dapat digunakan dalam kondisi tertentu, metode tersebut sudah jarang digunakan di Belanda. Goodwill merupakan perbedaan antara biaya akuisisi dengan nilai wajar aktiva dan kewajiban yang dibeli. Fleksibilitas Belanda dalam pengukuran akuntansi dapat terlihat dengan diperbolehkannya penggunaan nilai kini untuk aktiva berwujud seperti persediaan dan aktiva yang disusutkan. Karena perusahaan-perusahaan Belanda memiliki fleksibilitas dalam menerapkan aturan pengukuran, dapat diduga bahwa terdapat kesempatan untuk melakakukan perataan laba. Pos-pos tertentu dapat mengabaikan laporan laba rugi dan langsung disesuaikan terhadap cadangan dalam ekuitas pemegang saham. Hal ini antara lain:
1. Kerugian akibat bencana yang tidak mungkin atau tidak umum untuk diasuransikan
2. Kerugian akibat nasionalisasi atau sejenis penyitaan lainnya
3. Konsekuensi akibat restrukturisasi keuangan
INGGRIS
Akuntansi di Inggris berkembang sebagai cabang ilmu yang indipenden dan secara pragmatis menyikapi kebutuhan dan praktek usaha. Warisan akuntansi Inggris bagi dunia sangat penting. Inggris merupakan negara pertama di dunia yang mengembangkan profesi akuntansi yang kita kenal sekarang. Konsep penyajian hasil dan posisi keuangan yang wajar juga berasal dari Inggris.
Dua sumber utama standar akuntansi keuangan di Inggris adalah hukum perusahaan dan profesi akuntansi. Kegiatan perusahaan yang didirikan di Inggris secara luas diatur oleh aktiva yang disebut sebagai undang-undang perusahaan. Undang-undang perusahaan disesuaikan, diperluas, dan dikonsolidasikan sepanjang tahun.
Berikut 6 badan akuntansi di Inggris yang berhubungan dengan komite konsultatif badan akuntansi yang berdiri pada tahun 1970:
1. Institut Akuntan berizin resmi di Inggris dan di Wales (The Institute of Chartered Accountants in England and Wales-ICAEW)
2. Insitut Akuntan berizin resmi di Irlandia (The Institute of Chartered Accountants in Ireland-ICAI)
3. Insitut Akuntan berizin resmi di Skotlandia (The Institute of Chartered Accountants in Scotland-ICAS)
4. Asosiasi Akuntansi berizin resmi dan bersertifikat (The Association of Chartered Certified Accountants-ACCA)
5. Insitut Akuntan Manajemen berizin resmi (The Chartered Institute of Manajement Accountants-CIMA)
6. Insitut Keuangan dan Akuntansi Publik berizin resmi (The Chartered Institute of Public Finance and Accountancy-CIPFA)
Pelaporan keuangan Inggris termasuk yang paling komprehensif di dunia. Laporan keuangan umumnya mencakup laporan direksi, laporan laba rugi dan neraca, laporan arus kas, laporan total keuntungan dan kerugian yang diakui, laporan kebijakan akuntansi, catatan atas referensi dalam laporan keuangan, dan laporan auditor. Laporan direksi membahas kegiatan usaha yang utama, pembahasan atas operasi dan kemungkinan pengembangan, peristiwa-peristiwa penting setelah tanggal neraca, dividen yang disusulkan, nama-nama anggota dewan direksi, dan besarnya kepemilikan saham, serta kontibusi politik dan amal yang dilakukan.
Inggris memperbolehkan baik metode akuisisi dan merger dalam mencatat akuntansi untuk penggabungan usaha. Meskipun demikian, kondisi penggunaan metode merger begitu ketat sehingga hamper tidak digunakan. Berdasarkan metode akuisisi, goodwill dihitung sebagai perbedaan antara nilai wajar penyerahan yang dilakukan dan nilai wajar aktiva yang diperoleh.
AMERIKA SERIKAT
Akuntansi di Amerika Serikat diatur oleh badan sector swasta (Badan Standar Akuntansi Keuangan, atau Fincancial Accounting Standard Board-FASB), tetapi sebuah lembaga pemerintah (Komisi Pengawas Pasar Modal atau Securities Exchange Commission-SEC) juga memiliki kekuasaan untuk menetapkan standarnya sendiri.
System AS tidak memiliki ketentuan hukum secara umum mengenai penerbitan laporan keuangan yang diaudit secara periodic. Perusahaan di AS dibentuk berdasarkan hukum Negara bagian, bukan hum federal. Meskipun memiliki kekuasaan hukum untuk menentukan standard akuntansi dan pelaporan untuk perusahaan public, SEC tetap bergantung pada sector swasta yang menetapkan standard terebut. SEC bekerja sama dengan FASB dan memberikan tekanan bila melihat FASB bergerak terlalu pelan atau ke arah yang salah.
Laporan keuangan tahunan yang semestinya dibuat oleh sebuah perusahaan AS yang besar meliputi komponen berikut ini:
1. Laporan manajemen
2. Laporan auditor independent
3. Laporan keuangan utama (laporan laba rugi, necara, laporan arus kas, laporan laba komprehensif, dan laporan ekuitas pemegang saham)
4. Diskusi manajemen dan analisis atas hasil operasi dan kondisi keuangan
5. Pengungkapan atas kebijakan akuntansi dengan pengaruh paling penting terhadap laporan keuangan
6. Catatan atas laporan keuangan
7. Perbandingan data keuangan tertentu selama 5 atau 10 tahun
8. Data kuartal terpilih
Aturan pengukuran akuntansi di AS mengasumsikan bahwa suatu entitas usaha akan terus melangsungkan usahanya. Pengukuran dengan dasar akrual sangat luas dan pengakuan transaksi dan peristiwa sangat bergantung pada konsep penandingan. Penggabungan usaha harus dicatat sebagai sebuah pembelian. Goodwill dikapitalisasi sebagai perbedaan antara nilai wajar pemberian yang diberikan dalam pertukaran dan nilai wajar aktiva bersih yang diperoleh. Goodwill tersebut harus dikaji ulang terhadap penurunan nilai tiap tahunnya dan dihapusbukukan dan dibebankan di dalam laba jika nilai bukunya melebihi nilai wajarnya.
Label: artikel
